Listrik Harapan


Foto Lampu dan Lilin (Source:  ranapsimanjuntak.wordpress.com)
Listrik Harapan - Karya : Siti Faonah - Ranting-ranting basah, embun-embun menari didedaunan, udara dingin menghembus dengan lembut, namun penuh dengan goresan. Mentari belum rela menampakan wajah hangatnya untuk dilihat oleh semua orang, ia masih bersembunyi dibalik bukit Hijau Mancak. Seorang gadis bermata teduhmenjadi penikmat ketenangan udara subuh di desa. Langkah kakinya menghangatkan tanah-tanah merah. Setiap habis shalat subuh ia menembus dinginnya embun. Mengajaknya berdamai agar tidak terlalu membuat tubuhnya kedinginan.

    Kakinya terus melangkah tanpa lelah meski kadang membuatnya lemah, namun langkahnya terlihat lillah mencari setiap berkah. Bersama gadis seumurannya, ia melangkah untuk sebuah perubahan baru di desa. Menggendong sebuah tas berisi buku-buku pencakar dunia, tangan kanan mereka membawa patromak minyak. Bau minyak dan kotor tak mereka hiraukan, mereka fokus melangkah untuk sebuah cita dan impian.

    Berjalan puluhan kilometer dalam keadaan gelap sudah biasa di lewati para warga Pasir Waru, begitu pula dengan gadis bermata teduh itu dan teman-temannya. Mereka rela berjalan puluhan kilometer untuk bisa sampai disekolah dekat kecamatan.
    “ Ranti, tunggu!!” Teriakan seorang lelaki menghentikan langkah gadis bermata teduh tersebut-- seuntai senyuman Ranti rangkai untuk membalas sapaan lelaki yang baru saja memanggilnya, disusul dengan sebuah anggukan anggun.
    “ Tidak apa-apa kan aku berjalan disamping mu?” Ujar lelaki yang baru saja menyapanya.
    “ Iya ka, mari...”
    Mereka berjalan dengan menenteng lampu petromak masing-masing, di desa Pasir waru para warganya harus bisa menghemat pemakaiana listrik dengan sangat hemat. Ini terjadi karena pendistribusian listrik yang belum menyeluruh di desa, malah di sebagain desa masih ada yang belum tersetuh oleh listrik. Listrik baru bisa dipakai jika sudah adzan magrib dan akan dimatikan setelah shalat subuh, ini dilakukan untuk menghemat pemakaina listrik di desa.

    “ Kalau saja desa kita sudah punya pesedian listrik yang cukup banyak, pastinya kita tidak akan berjalan dengan keadaan seperti ini,” Ujar lelaki disamping Ranti
    “ Iyah ka, kita bisa melihat bukit Hijau Mancak yang tenang, pohon-pohon jati yang damai. Uh... kapan itu terjadi yah ka?!,” Jawab Ranti sambil menerawang pohon-pohon jati.
    “ itu akan tejadi sebentar lagi de, saat kita berani mengubah dan memberikan buah pemikiran dan karya kita untuk desa yang kita cintai ini,” Dengan seuntas senyuman penuh harapan ia rangkai.
    “ Iya ka Fahmi, aku akan berusaha untuk itu,” Ranti membalas senyuman penuh harapan itu.
    Merekapun melanjutkan langkah penuh artinya, mereka berbincang kesana-kemari. Fahmi menceritakan rencana-rencana hebatnya setelah lulus SMA nanti, tentang rencananya masuk Institut paling favorit di Bandung, tentang pembangunan desa mereka. Ranti mendengarkan dengan penuh kagum, matanya memancarkanberibu do’a untuk meng-aminkan harapan dan cita Fahmi. Cerita tentang rencana dan harapan Fahmi terhenti saat mereka sampai di sekolah, merekapun berpisah dengan saling menguntai senyuman indah.

    Ranti melangkah menuju ruang kelas dua belas, sedangkan Fahmi berjalan menuju ruang kelas tiga belas. Umur mereka hanya terpaut satu tahun, Fahmi merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolah hampir tiap tahun ia mendapat juara umum untuk kelas tiga belas, begitu pula dengan Ranti. Rumah mereka saling berdekatan, hampir tiap hari mereka pergi sekolah bersama. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga menghabiskan waktu bersama menikmati indahnya senja di saungdekat sawah milih Abah Ranti.
                                                                            ***
    Mata Fahmi menyipit saat mengerjakan soal fisika, soal tentang arus dan tegangan listrik bolak-balik. Otaknya memutar memecahkan setiap soal yang ada, memasukan rumus-rumus yang telah ia pelajari semalam. Hari ini ujian fisika yang akan dilanjutkan dengan ujian prakek fisika, jika soal di depan Fahmi selesai dan lulus maka ia bisa melanjutkan ke ujian praktek. Ingatannya terus dipertajam, sesekali ia menoleh ke arah jendela mencari sebuahpencerahan. Seuntai senyuman menguntai di bibirnya saat membayangkan ia bisa membangun pembangkit listrik di desa.

    Setengah jam Fahmi menyelesaikan soal fisika, iapun dapat meninggalkann kelas dan bergegas pulang. Fahmi menunggu Ranti di koridor kelas dua belas, alat visualnya melirik kesana kemari, mencari sang pemilik untaian manis. Gadis pemilik untaian manispun datang, saat mengetahui Fahmi menunggunya di koridor ia melempar untaian manisnya. Merekapun melangkah menuju gerbang untuk pulang bersama. Selalu ada perasan nyaman dan bahagia saat Fahmi berbagi sepotong ceritanya kepada Ranti. Ranti selalu menjadi pendengar yang baik, menanggapi dengan tanggapan yang menyenangkan dan mengomentari dengan penuh motivasi.
    “ Ka, kita mampir dulu ke balai desa yu, liat para warga yang sedang belajar internet,’ Ujar Ranti setelah mendengar cerita Fahmi.
    “ Ayo.. udah seminggu ini kaka jarang kesana,”
    Sejak didirikannya CTC (Community Technology Center)untuk belajar komputer digagas oleh Microsoft yang bekerjasama dengan Mentri Komunikasi dan Informatika, para warga rutin mengikuti pelatihan komputer di gedung yang begitu sederhana. Para petani saling bergantian belajar komputer dan mencari informasi tentang pengembangan padi dan pengembangan hewan ternak.
    “ Mereka begitu bersemangat yah ka,” Ranti memecah sunyi diantra kekagumam mereka.
    “ Iya de, tetapi kasian disaat mereka sedang bersemangat-semangatnya kadang listrik mati karena ketersedian listriknya masih kurang, do’kan ya de jika nanti kaka sudah pulang dari rantauan. Akan kaka bangun pembangkit-pembangkit listrik di desa kita agar tidak ada pemadaman listrik yang tiba-tiba,” Senyumnya mengembang.
    “ Pasti ka,” Rantipun menjawab dengan untaian manisnya.
    Merekapun melihat-lihat dan membantu para pemandu yang sedang mengajarkan para warga untuk belajar komputer, mereka sibuk membantu para pemandu menjelaskan cara ini dan itu kepada para warga yang kebanyakan para petani, hal-hal lucudilakukan oleh para petani. Kadang para petani ragu-ragu untu menggerakkan mouse, kikuk saat sedang dielaskan cara akses internet. Namun, semangat para petani tak pernah habis. Langit jingga bergerak dengan lembut, menutupi langit biru yang sejak tadi menemani hari. Ranti dan Fahmipun berpisah di kelokan.
                                                                                   ***
    Waktu yang dutunggu-tungguh oleh Fahmipun tiba, ujian nasional sudah di depan. Dengan persiapan yang matang dan semangat yang tak kalah, Fahmi optimis dengan ujian nasionalnya. Sementara Ranti sibuk menulis novel impiannya, sesekali ia juga datang ke balai CCT untuk membantu para pemandu mengajarkan komputer. Fahmi sibuk dengan rangkaian mimpi-mumpinya yang sebentar lagi tergambar dengan jelas dan Ranti sibuk dengan kegitan sosialnya. Mereka sudah jarang menikmati senja di saung dekat sawah Abah Ranti.

    Tiga bulan tanpa kabar, sejak acara perpisahan kelas tiga belas di sekolah. Ranti sudah jarang melihat Fahmi. Hatinya mulai merasa ada sesuatu yang hilang, seperti ada molekul-molekul yang hilang. Saat Ranti merasa hampa, sebuah surat dengan amlop coklat datang. Sebuah surat dari sang pemilik semangt yang membara—Fahmi. Ia meminta maaf karena baru memberi kabar tentang kepergiannya ke Bandung, kepergian yang penuh dengan harapan dan cita, harapan untuk sebuah cahaya di desa.

    Fahmi memberi tahu, bahwa ia diterima di Institut impiannya. Sebuah surat yang penuh dengan aroma optimis dan kritis, Fahmi berjanji akan cepat pulang jika kuliahnya sudah selesai, dan akan segera membangun sebuah pembeharuan di desa mereka. Sebuah listrik yang menjadi idaman semua warga. Diakhir suratnya ia berjajnji akan menemani menikmati senja bersama meski mereka berjauhan.

    Ranti tersenyum indah saat membaca akhir surat dari Fahmi “ Pergi saja kamu de ketempat kita menikmati seluite jingga itu, meski kita berjauhan. Namun langit yang kita lihat sama-- langit yang menyediakan panorama indah untuk kita, langit yang bisa menyimpan mimpi dan cita,”Matanya menerawang langit mencoba melukiskan guntaian senyum manis Fahmi, beribu doa’a terpancar dari cahaya matanaya. Mendo’akan agar listrik harapan itu cepat terbangun.

Profil Penulis:

Siti Fatonah nama pena dari seorang remaja pencinta leterasi, lahir pada tanggal 26 April  1996. Saat ini sedang menempuh sebuah perjuangan akademik di sebuah Universitas Islam Negri di Bandung. Tinggal dengan perasaan bahagia bersama kedua orangtuanya di Jalan terusan Cibaduyut, tepatnya di Gg. Situtarate II no. 250, bisa di sapa melalui akun fb: Siti Nurjanah atau melalui e-mail ; Sitin.fatonah@gmail.com atau 089653446637/53EBB290
Back To Top