Kita saat ini
berada di abad ke-21. Banyak ahli di berbagai disiplin ilmu mewanti-wanti agar kita
menjadi spesialis di bidang yang sedang kita tekuni. Artinya, apapun yang kita
kerjakan saat ini harus dilakukan secara sempurna, profesional, excellent,
jayyid, kaaffah, atau predikat lain yang mengarah pada
pengertian terbaik dari yang terbaik (the best of the best).
Mengapa begitu?
Alasannya hanya satu, yaitu era abad ini penuh dengan muatan persaingan yang
amat sangat ketat. Maka, mau tidak mau kita harus menampilkan kemampuan diri
yang terbaik. Untuk menjadi yang terbaik pada masa abad milenium ini, tuntutan
yang utama adalah mengerahkan segala kemampuan, potensi, bakat, minat, maupun
SDM (sumber daya manusia) yang kita miliki ke satu fokus bidang tertentu.
Sebab, ilmu pengetahuan dan teknologi di abad ini sudah demikian pesat
perkembangannya. Sehingga, amat mustahil bagi seseorang untuk menguasai
berbagai bidang disiplin ilmu secara bersamaan karena begitu luas dan dalamnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Akibatnya, orang zaman
sekarang cenderung memilih satu saja bidang yang ditekuninya secara mendalam.
Atau dengan bahasa yang keren, mereka berusaha menjadi spesialis.
Contoh paling
sering dalam kehidupan sehari-hari adalah dokter. Kalau pada zaman dulu, orang
yang berprofesi sebagai dokter sudah sangat mapan karena banyak yang
membutuhkan ilmu dan ketrampilannya dalam mengobati pasien. Tapi, sekarang? Itu
semua sudah lewat. Masyarakat saat ini lebih memilih berobat ke dokter
spesialis sesuai dengan penyakit yang sedang ingin mereka terapi. Misalnya, sakit
jantung ya berobat ke dokter spesialis jantung atau dokter spesialis penyakit
dalam (Sp.P.D.). Para wanita yang
menderita haid tidak lancar lebih sreg berobat ke dokter dengan gelar
spesialisasi Sp.O.G. Begitu seterusnya.
Semua itu
merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sudah demikian pesat dan tak terbendung tadi. Maka, kalau kita ingin tetap
eksis (dalam arti, memiliki peran dalam masyarakat), langkah utama yang harus
dilakukan adalah harus menguasai satu saja bidang yang diminati. Bukan hanya
menguasai, tapi juga harus mendalam, komprehensif, detil hingga ke
akar-akarnya. Kita saat ini sudah tidak boleh lagi berpikiran bahwa sudah
cukuplah sekedar tahu permukaan atau kulit luarnya saja. Sebaliknya, kita dituntut
lebih dari itu. Kita harus paham lika-liku, pernak-pernik, bahkan sampai jeroan
bidang profesi yang kita tekuni. Kalau tidak, ya kita tidak punya eksistensi
(keberadaan) dalam masyarakat. Akibatnya, kita terkucil, terasing, atau bahkan
dianggap warga biasa oleh masyarakat. Mengapa sampai begitu parah? Karena kita
tidak punya sesuatu yang bisa dijadikan sumbangsih untuk warga masyarakat.
Santri spesialis
Jika sudah tahu
betapa ngerinya melihat persaingan dalam masyarakat modern saat ini, maka
inilah saatnya bagi santri, khususnya yang sedang menimba ilmu di pesantren
salafi, untuk merenung secara dalam apa sebenarnya kemampuan yang ingin kita
spesialisasikan. Apakah mau jadi pakar tafsir, ahli hadis, expert di
bidang ilmu falak, spesialis faraid (ilmu waris-mewaris), atau apa?
Pertanyaan itu mulai sekarang harus terus dipertanyakan pada diri sendiri
hingga mencapai sanubari yang paling dalam.
Biasanya,
setelah itu, kita akan memperoleh dorongan hati, kecenderungan, kesenangan,
kegemaran, dan kecintaan yang lebih pada satu bidang (fan) yang sedang kita
tekuni. Kalau sudah seperti itu, maka itulah yang harus kita eksplorasi lebih
dalam dibanding cabang ilmu agama Islam lainnya selama nyantri di
pesantren.
Sebaliknya,
kalau kita masih bimbang atau belum memiliki gambaran sama sekali ilmu apa yang
cocok, maka sudah waktunya memohon dengan sungguh kepada Allah Swt. apa
sebenarnya yang terbaik untuk kita tekuni di pesantren itu. Caranya, bisa
dengan melakukan salat istikharah, salat tahajjud, dan sebagainya. Insya Allah,
Dia Yang Maha Mengetahui berkenan menitipkan sebagian kecil ilmu-Nya untuk kita
kuasai dan pergunakan di dalam dakwah di masyarakat.
Sebagai
gambaran, cukup banyak di masyarakat orang mengaku dirinya pakar tafsir.
Padahal, ilmu yang dia dapat itu hanya dari kitab-kitab tafsir terjemahan. Bukan
dari kitab tafsir yang asli. Akibatnya, bila mendapat pertanyaan yang pelik
dari masyarakat ketika sedang mendakwahkan tafsir Al Quran, oknum pakar tafsir
itu tidak bisa menjawab secara memuaskan. Bahkan, tidak berkutik sama sekali.
Nah, oknum ini yang disebut belum spesialis atau bahkan baru mengaku-ngaku
spesialis.
Santri tentu
tidak ingin menjadi korban konyol dari ketidaktahuannya. Maka, janganlah
sekali-kali berani berdakwah sesuatu yang belum dikuasai secara layak mendalam.
Misalnya, ingin membuka pengajian tafsir rutinan maupun umum, maka sebaiknya
kuasai dulu secara mendalam perangkat ilmu tafsir. Seperti, balaghah, asbabun
nuzul, ilmu alat dalam bahasa Arab, dan lain-lain yang mendukung pemahaman
terhadap tafsir Alquran. Kalau semua ilmu dasar tafsir sudah dikuasai, barulah
bisa disebut sebagai spesialis tafsir.
Contoh yang lagi
ngetren di Indonesia adalah ahli tafsir Quraisy Shihab. Quraisy Shihab
memang sudah layak diacungi jempol untuk karya-karyanya tentang tafsir Al
Quran. Analisisnya demikian gamblang, baik untuk orang yang telah mendalami
tafsir maupun untuk orang awam. Buah pikirannya demikian jelas sehingga
siapapun yang membaca pasti terkagum-kagum atas kehebatan Al Quran dan makin
teballah imannya.
Konsekuensi spesialis
Kalau kita sudah
mantap untuk memperdalam satu hal, maka ada konsekuensi yang harus dipatuhi.
Konsekuensi itu merupakan suatu wujud keseriusan dari ilmu yang akan kita
jadikan spesialisasi. Salah satunya adalah konsentrasi kita harus benar-benar
terfokus pada bidang itu saja. Fokus ini penting sekali perannya dalam
menggiring sang calon spesialis memahami secara mendalam, detil, dan
komprehensif terhadap fan ilmu yang dia perdalam. Maka, dia harus tegas menolak
setiap tawaran untuk berbicara ke hal-hal yang lain selain yang sedang
ditekuninya. Dia juga harus pantang berceramah tentang hal yang bukan
spesialisasinya.
Kalau ini
dilanggar, tentu berakibat bubar atau pecahnya konsentrasi selama memperdalam
ilmu tersebut. Jika konsentrasi bubar atau tidak fokus, maka hasilnya pun
kurang memuaskan, bahkan nihil. Akibatnya, kita tidak bisa jadi spesialis
seperti yang kita dambakan. Mari kita ambil pelajaran dari kasus si Dai Sejuta
Umat K.H. Zainudin M.Z. almarhum. Beliau, menurut hemat penulis, sebenarnya adalah
spesialis dai. Namun, seiring perjalanan waktu dan ketenarannya yang makin
membumbung, beliau tergoda pada dunia politik. Maka, masuklah beliau ke ranah
politik, bahkan politik praktis. Beliau pernah menjadi anggota wakil rakyat di
MPR dan DPR.
Apa akibatnya? Spesialisasi
beliau dalam berdakwah terbengkelai. Padahal, jutaan umat merindukan ceramahnya
yang sering memberikan pencerahan dalam memahami Islam secara komprehensif. Di
bidang politik yang baru ditekuninya, tampak beliau juga terlihat kurang
spesialis. Ketajaman analisisnya ketika berorasi sebagai dai nyaris tak
terdengar lagi di Senayan sana. Akhirnya, semua serba mengambang dan cerai
berai. Untunglah akhir-akhir sebelum wafat, beliau come back lagi ke
dunia dakwah yang memang menjadi spesialisasinya.
Kita tentu tidak
ingin mengalami pengalaman pahit itu. Makanya, kalau kita memang spesialis di
bidang tafsir, misalnya, jangan sekali-kali berubah haluan atau coba-coba
mengembangkan sayap yang hakikatnya makin menjauhkan kespesialisasian yang kita
miliki. Sayang kan kalau spesialisasi yang kita tekuni bertahun-tahun
itu menjadi hancur lebur hanya karena godaan yang bersifat pragmatis dan sesaat
kenikmatannya.
Konsekuensi
kedua selain konsentrasi seperti yang diuraikan di atas adalah kita harus terus
mengaktualisasi dan mengup grade spesialisasi yang kita tekuni. Itu bisa
kita lakukan dengan cara membaca dan mengamati setiap perkembangan yang terjadi
dalam disiplin ilmu yang sedang kita spesialisasi. Bacaan dan pengamatan bisa
diambil dari referensi buku-buku ilmiah maupun terapan, internet, majalah,
koran, tabloid, maupun hasil-hasil penelitian yang mutakhir dari para ahli.
Cara ini perlu
ditempuh agar otak, pikiran, pandangan, maupun mind set kita makin tajam
dalam menganalisis sesuatu kasus yang berkaitan dengan spesialisasi yang sedang
kita tekuni dengan mendalam. Cara-cara di atas merupakan kiat yang paling ampuh
untuk membuat cakrawala, pandangan, wawasan, maupun pola pikir kita makin luas,
tajam, kritis, mendalam, dan menyeluruh. Buah pikir spesialis yang seperti
itulah yang sedang dirindukan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, bahkan
dunia. Karena, dari buah pikir dan karya para spesialislah dunia ini bisa tetap
tegak dan terus maju memperbaiki peradaban manusia.
Akhirnya, mari
kita mantapkan langkah untuk menjadi spesialis dengan terus membisikkan
rayuan-rayuan ke dalam lubuk hati masing-masing, "Be specialist,
please!"
Esai oleh: Saiful Asyhad, S.H.
(Tutor Kursus Kepribadian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri;
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1989)