Merajut Asa Demi Masa Depan Dan Cita-cita (1)

Merajut Asa Demi Masa Depan Dan Cita-cita - Berawal ketika mata hari tersenyum menerangi bumi seakan mampu membawa proses kebahagiaan hidup pada saat itu. Dengan modal semangat yang mengembara pada saat duduk di bangku kelas 1 SD mampu membawaku dalam dunia semangat dalam pendidikan. Berliku canda tawa selama 3 tahun sudah semua kelam, senyuman yang awalnya bahagia seakan runtuh dengan air mata yang tak mampu tertahan di kening mataku, ketika melihat sosok pahlawan hidup terkapar tak bernyawa lagi di atas  tempat tidur yang sudah mulai kusam dimakan rayap. Tempat tidur yang terbuat dari bilahan bambu yang sudah tua, tangisan yang tiada hentinya melihat sosok ayah yang sangat memberikan kami pencerahan hidup, situasi ketika itu begitu mengaharukan di mana ibu sedang membacakan Surat Yaasin menghadap jasad ayah yang tak bernyawa, kakak dan kedua adikku berlinang air mata melihat ayah yang tak bernyawa lagi begitupun dengan aku.
Menggapai Mimpi (source: www.kasahf.org)

“Ayah jangan pergi yah..! jangan tinggalkan kami” hentakku sambil memeluk ayah yang tak berdaya. Namun apalah daya beliau sudah dipanggil Tuhan yang hal ini akan dialami oleh setiap manusia, air mata agak mereda namun tak tertahan lagi ketika proses penguburan telah tiba, yang semula masih bisa melihat jasadnya meskipun tak bernyawa akan tetapi kali ini ayah akan dimakamkan. Artinya kami tidak akan bisa melihat  jasadnya lagi, seakan tak rela atas kepergian beliau namun ibu memeluk anak-anaknya untuk mencoba menenangkan kami, agar bisa mengikhlaskan kepergian ayah. Suasana di rumah hingga di pemakaman tampak amat mengharukan.
Kini kami tinggal sendiri tanpa sosok seorang ayah. Ibu yang dulu matanya bersinar kini berlinang air mata dalam hentakan doa. Mungkin setelah aku pikir beliau merasa berat mencari nafkah buat kami yang posisi kedua kakakku, aku sendiri dan kedua adikku masih kecil. Aku pun masih duduk di bangku kelas 4 SD.
“Ya Allah kasihan melihat ibu, tapi beliau kuat berusaha menafkahi kami dengan hati yang tulus. Ibu berpanas-panasan mencari uang untuk sesuap nasi” suara relung hatiku. Senyuman yang dulu manis kini mulai keriput, keringat yang berkucuran dari badannya disinari panasnya terik matahari yang semerbak di tengah kebun orang. Ibuku terpaksa menjadi buruh. Bingung mau mancari uang ke mana sementara ibu tidak mempunyai penghasilan layaknya mereka yang berprofesi sebagai pegawai. Hanya menjadi buruhlah bisa menghasilkan uang yang halal meski pekerjaan yang memakan waktu cukup lama dan tenagapun terkuras banyak akan tetapi hasil yang didapat tidak sepadan dengan tenaga yang mungkin sangat melelahkan. Itulah yang biasa ibu lakukan, tidak kuat rasanya melihat keadaan ibu yang harus begini terus. Beliau bekerja keras mencari uang dengan begitu susahnya demi anak anaknya. Pikiran itu sempat hadir ketika aku duduk di bangku kelas 6 SD yang kebetulan sudah menunggu pengumuman kelulusan.


“Ya Allah, ini tidak mungkin harus terjadi terus. Aku tidak bisa berbuat apa apa, karena memang belum bisa apa apa.” Hanya bisa membantu ibu di rumah dan di ladang. Di ladangpun sangat aku rasakan betapa susahnya menanam bibit singkong milik orang lain, membersihkan rumput di kebun orang lain, itulah pekerjaan ibuku. Dengan simponi apa yang aku rasakan susahnya hidup ini dan tak tega melihat ibu, tidak tahu dari mana aku punya pikiran satu-satunya untuk merubah keadaan ini adalah harus meningkatkan pendidikan. Karena melalui pendidikanlah semua bisa terangkat, pikiran yang sejenak mampir di ranah otak berfikirku ketika pengumuman kelulusan SD dan aku dinyatakan lulus. Rasa bangga aku pulang kerumah memeluk ibu.

JENDELA PENULIS 


Nama: Rosim Nyerupa
Status: Mahasiswa
Departemen: Ilmu Pemerintahan
Perguruan Tinggi : Universitas Lampung
Back To Top