Hampir Putus Sekolah (2)

Hampir Putus Sekolah - “Selamat ya nak kamu telah lulus menyelesaikan pendidikan dasarmu. Ibu bangga dengan kamu Sim, soalnya ibu dulu bisa mencicipi bangku sekolah sampai kelas 2 SD saja terbentur dengan biaya dan pada saat itu pula ayah ibu, kakekmu sudah meninggal sejak ibu di kandunga. Jadi ibu tidak pernah bertemu bahkan muka kakekmu saja ibu tidak tahu nak.” Sempat haru juga mendengar selayang pandang ibuku, mungkin pada saat itu tidak ada foto-foto kakekk. Oleh karena itu, ibu tidak tahu wajah kakek, namun semangat pun tetap membara di hati ini. Keinginan untuk melanjutkan di bangku SMP tidak memadamkan semangat meskipun tidak ada biaya.
Anak Putus Sekolah (source: rob13y.wordpress.com)

Ku lihat ibu sedang duduk sambil merenda kain Tapis Lampung, kain tradisional khas masyarakat Lampung yang biasa digunakan untuk pesta adat. Situasi itu aku manfaatkan untuk menceritakan keinginanku untuk masuk SMP.
“Bu, Rosim ingin melanjutkan belajar ke SMP..” Kalimat yang aku sampaikan ketika aku mendekati ibu. “Apa..? mau melanjutkan ke SMP ? “ Tanggapan Ibu kepadaku dengan nada seperti orang kaget.
“Kenapa bu…?” tanyaku sambil menganggukkan kepala lalu ibu diam tidak meneruskan perbincangan pada saat itu. Kemudian aku tidur namun pikiran selalu tetap bersih kukuh apapun caranya harus melanjutkan ke SMP karena aku tidak mau terus-terusan hidup susah begini. Di lain sisi aku berpikir tidak ada dananya. Setelah aku analisa ternyata ibu diam karena dia mungkin memikirkan dana. Hal itu tepat ketika pagi itu ibu berbicara kalau tidak ada biaya untuk menyekolahkan ku.
“Sim..! ibu selalu dukung keinginan kamu, tapi kali ini ibu tidak bisa memenuhi keinginanmu. Lihatlah kakak-kakak kamu. Jangankan mereka, ibu dan ayah saja tidak lulus SD karena benturan biaya. Ibu tidak ada biaya nak, makan saja ibu terkadang kesusahan, ibu tidak memiliki cukup uang kalau “tidak upahan” dengan orang lain” Jelas ibu kepadaku.
Air mata sempat keluar membasahi pipiku begitupun ibu. Tapi “Ya bu..! Tidak apa-apa, doakan saja yang terbaik untuk anakmu ini bu.” Sambungku saat pagi itu yang hentak dengan malu-malu mentari menyinari dunia yang menantinya. Semangat sempat lunglai dan pikiran untuk sekolah sempat hilang namun bangkit kembali melihat retorika yang ada, aku harus dapat seperti orang-orang yang menjadi pejabat, aku harus bisa menggapai citacita menjadi gubernur. Keesokan harinya aku, adikku dan ibu mencari singkong di kebun orang yang sudah dijual, kebetulan di kebun paman sendiri. Setelah menunaikan shalat dzuhur, aku bertemu dengan sepupuku dan mengutarakan bahwa aku ingin sekolah walaupun tidak ada biaya.
Dengan ridho Allah SWT, akhirnya aku pun berkesempatan sekolah berkat jasa sepupu, duduk di bangku kelas 1 SMPN 2 Gunung Sugih Lampung Tengah. Ibu dan kakakku tentu bangga adiknya akhirnya bisa sekolah. Setelah duduk di bangku SMP, berbagai retorika aku jalani mulai dari lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga. Satu semester lamanya aku sekolah naik sepeda pemberian tetangga. Mungkin mereka memberikan karena melihat semangatku dan agar tidak boros untuk ongkos naik angkot. Dengan keseriusan di sekolah, belajar dengan rajin membuahkan hasil yang memuaskan dan sepadan. Di kelas VII, aku dipercaya mejadi ketua kelas hingga kelas IX dan Sekretaris OSIS kemudian di kelas VIII dipercaya untuk mengemban amanah menjadi Ketua OSIS.
Rasa syukur aku haturkan kepada Tuhan, karena atas kehendak beliaulah aku bisa seperti ini. Namun di lain sisi berbagai masalah banyak aku hadapi mulai sekolah tidak ada ongkos, di sekolah jarang membawa uang saku, bahkan sempat tidak memiliki dana untuk membayar SPP. Dengan memberanikan diri, aku mengahadap sepupu meminta uang untuk bayaran namun bukan malah diberi tapi justru dimarahi bahkan pernah sempat dicaci maki, dihina oleh bibiku.
Bibi berkata “mana ayamu, mana ibumu, mana kakak-kakakmu? Kenapa jadi minta bayaran kepada anakku?”Tak heran akupun diam, diam bukan berarti tidak bisa menjawab namun menangis tengadah tidak bisa berkata apapun. Ya Allah, alangkah sakit hati hamba dihina seperti ini, memang susah ya Allah jadi orang miskin, namun hal itu jadi cambuk bagiku kelak menyongsong kesuksesan. Aku hanya bisa berdoa dan mengadu kepada Allah, karena kalau mau cerita dengan kakak-kakakku mereka juga tidak mampu dan mau cerita ke ibuku tapi takut beliau justru pusing memikirkan. Aku tidak mau melihat ibu pusing karena masalah biaya pendidikanku. Bangun tengah malam suasana begitu hening tersentuh air wudhu begitu dingin ku paksakan, di tengah sajadah tanganku bertengadah meminta petujuk kepada Allah  masalah jalan keluar ini.
Serasa pada saat itu almarhum ayah menghampiriku terliang bisikan “tenang nak, Allah Maha Kaya yakinlah.”teringat pesan ayah di mana ada kemauan di situ ada jalan. Pendirian yakin itu sangat kuat pada hati ini. Keesokan harinya aku berangkat sekolah. Setelah jam pertama aku dipanggil Waka Kesiswaan ke Ruang Guru. Timbul pertanyaan ada apa? Jangan-jangan karena aku belum melunasi SPP. Ternyata rasa ketakutan itu berubah menjadi kebahagiaan, aku mendapatkan beasiswa. Dari situlah mulai semangat ternyata Allah tidak membiarkan umatnya kesusahan. Dari kelas VII hingga lulus SMP mendapatkan beasiswa. Tentu ibu di rumah kembali bangga apalagi aku lulus SMP. Kebanggaannya “akhirnya anakku dapat menyelesaikan sekolahnya yang dulu ia sangat ingin sekali melanjutkan ke SMP dan aku tidak mampu membiayainya. Itupun usaha nya sendiri.” Suara relung hati ibu.

JENDELA PENULIS 

 

Nama: Rosim Nyerupa
Status: Mahasiswa
Departemen: Ilmu Pemerintahan
Perguruan Tinggi : Universitas Lampung

Back To Top