Televisi dan Krisis Pendidikan

Televisi dan Krisis Pendidikan- (Oleh: Achmad Zamroni) Berbicara mengenai pendidikan anak, tidak akan lepas dari tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah. Ketiga lingkungan tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar pada kepribadian dan pengetahuan anak. Di dalam keluarga, anak belajar pada apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang tua. Di masyarakat, anak belajar pada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh teman-teman bermain dan tetangga sekitarnya. Sedangkan di sekolah, anak belajar pada guru dan teman-teman satu sekolahnya. Dari ketiga lingkungan inilah anak belajar melalui proses-proses interaksi secara langsung dengan para pendidiknya.
Pada abad ke 21 ini, ada satu lagi lingkungan yang menjadi tempat belajar bagi anak. Lingkunga tersebut adalah media massa. Media massa bisa berupa koran, majalah, radio, dan televis. Dari sekian banyak media masa, yang paling sering digunakan oleh anak dalam belajar adalah televisi, karena televisi menggunakan perpaduan audio dan visual yang tentu saja lebih menarik bagi anak. Selain itu, televisi juga menyediakan berbagai tontonan yang sangat disukai oleh anak-anak, seperti film kartun, sinetron anak, kuis, lagu-lagu, dan lain sebagainya.
Anak nonton tv (source: hidupsehat.pinginsehat.info)

Melihat minat anak yang sangat besar untuk menonton acara televisi, para pemilik stasiun televisi, para produser, sutradara, artis, dan para pelaku yang terlibat dalam penyiaran televisi seharusnya menjadi fasilitator bagi anak dalam menyediakan tayangan-tayangan yang mendukung bagi proses belajar anak. Misalnya, jika ingin membuat sinetron ataupun film, para produser dan sutradara seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai pendidikan anak, seperti nilai moral, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan oleh anak. Jika semua pihak di belakang layar televisi memperhatikan hal ini, maka bisa dibayangkan berapa banyak anak Indonesia yang mendapatkan ilmu-ilmu baru dari menonton televisi dan itu merupakan kontribusi yang sangat berarti dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Namun, realita menunjukkan bahwa para pelaku penyiaran di belakang layar televisi  kurang mempedulikan nilai-nilai pendidikan bagi anak. Kebanyakan dari mereka hanya berorientasi pada ekonomi, asal mendapatkan untung apapun dilakukan, termasuk menghilangkan nilai-nilai pendidikan anak dari acara televsi yang mereka produksi. Hal ini tampak jelas dalam berbagai acara televisi yang tayang setiap hari, termasuk program acara sinetron khususkan untuk anak, memiliki nilai-nilai pendidikan yang sangat sedikit dan justru lebih banyak unsur hiburannya, bahkan hiburan-hiburan yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif.
Misalnya, ada sinetron anak yang banyak memakai artis cilik sebagai pemeran tokoh dalam sinetron, tujuannya adalah menanamkan nilai-nilai keimanan dan akhlak mulia pada diri anak dengan menampilkan pengamalan ajaran islam dalam bidang olahraga. Namun, yang ditangkap oleh anak justru bukan nilai-nilai iman dan akhlak mulianya, melainkan keajaiban-keajaiban yang tidak masuk akal dan kata-kata aneh yang diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada juga sinetron yang sebenarnya ada nilai-nilai akhlak mulia di dalamnya, namun tertutupi oleh banyaknya unsur-unsur negatif dalam sinetron tersebut, misalnya bahasa-basaha gaul yang selalu muncul dalam percakapan, gaya berpakaian, terutama pakaian perempuan, yang jauh dari nilai-nilai kesopanan, adegan kekerasan dan bermuatan seksual, dan lain sebagainya.
Selain acara sinetron, ada acara televisi lain yang sama buruknya. Misalnya, ada acara televisi yang hanya berisi lagu-lagu dengan lirik-lirik yang tidak mindidik, tarian-tarian yang tidak jelas dan jauh dari nilai-nilai kesopanan, lawakan-lawakan yang cenderung kasar dan menghina orang lain, dan unsur-unsur lain yang sama sekali tidak memperhatikan norma agama dan sosial, serta jauh dari nilai-nilai pendidikan. Parahnya, acara-acara tersebut ditayangkan setiap hari di televisi pada waktu anak-anak belum tidur, yaitu sekitar jam 6 petang sampai jam 9 malam.
Jika acara-acara tidak bermutu tersebut terus dibiarkan beredar di masyarakat, maka dampak negatifnya bisa sangat berbahaya bagi generasi muda Indonesia. Mengapa acara-acara seperti itu disebut acara tidak bermutu ? Karena, meskipun acara-acara tersebut tetap mengandung nilai-nilai akhlak mulia, namun ketika perilaku-perilaku negatif lebih sering dimunculkan dan ditonjolkan dalam acara tersebut, maka yang terrekam di memori anak adalah hal-hal yang negatif. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan akhlak mulia yang cukup, maka masa depannya akan menjadi anak muda yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur. Di usia produktifnya nanti, mereka justru hanya menjadi pemuda yang konsumtif. Mereka akan menjadi pemuda yang hanya suka berfoya-foya dan bersenang-senagn tanpa batas sampai melalaikan kewajiban mereka pada Tuhan, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Dampak negatif tersebut akan menimpa setiap individu anak yang suka mengkonsumsi tontonan televisi yang tidak berkualitas. Lalu, jika dampak tersebut menimpa setiap individu anak, maka kita bisa membayangkan berapa banyak Indonesia akan kehilangan generasi muda yang berkualitas di masa mendatang. Oleh karena itu, ini bukanlah persoalan kecil, ini adalah bencana nasional karena taruhannya adalah generasi muda Indonesia.
Melihat fenomena yang demikian memprihatinkan, maka perlu upaya serius dari semua pihak untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia. Pihak pertama yang paling bertanggung jawab adalah orang tua si anak. Memang tidak bijaksana dengan melarang total anak menonton televisi, tapi yang lebih tepat adalah memilih kapan anak boleh menonton televisi, kontrol seberapa sering anak menonton televisi, dan apa yang ditonton anak di televisi. Pilihkan waktu menonton agar tidak mengganggu kegiatan ibadah dan belajarnya, jangan biarkan anak terlalu sering menonton televisi agar konsentrasi belajarnya tidak kacau, dan pilihkan acara-acara yang banyak menyampaikan nilai-nilai agama dan menambah wawasan anak.
Pihak kedua yang bertanggung jawab adalah pemerintah. Mereka harus merumuskan undang-undang temntang syarat-syarat acara televisi yang boleh tayang hanyalah acara-acara yang mengedepankan nilai-nilai pendidikan dan menambah informasi yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya anak-anak. Tidak cukup dengan tulisan BO, R, SU, D, dan sebagainya, namun pemerintah juga harus berani menegur, menghentikan, bahkan memberi sanksi kepada pihak-pihak yang menayangkan acara-acara yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika pemerintah masih peduli dengan generasi muda, maka penegakan hukum untuk penyiaran acara-acara televisi yang “menyesatkan” anak-anak harus lebih tegas.
Pihak ketiga yang paling bertanggung jawab adalah mereka yang terlibat dalam produksi acara-acara televisi yang tidak berkualitas tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah pemilik stasiun televisi, produser, sutradara, para artis, dan pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Mereka harus dengan penuh kesadaran menghentikan acara-acara televisi yang telah mereka buat demi pendidikan untuk anak-anak dan generasi muda bangsa. Kemudian dalam membuat acara selanjutnya, mereka juga harus mau membuat acara televisi yang labih mengedepankan nilai-nilai akhlak mulia, menambah pengetahuan dan informasi, khususnya bagi anak-anak Indonesia. Dengan kesadaran bertanggung jawab terhadap pendidikan anak dan generasi muda dari semua pihak, maka pembangunan kualitas sumber daya manusia akan semakin baik dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Yang jelas, semua pihak tersebut tidak boleh hanya saling melemparkan kesalahan satu sama lain. Jangan orang tua hanya menyalahkan para pembuat sinetron “abal-abal” tanpa melakukan apapun, jangan juga para pelaku di belakang layar televisi terlalu egois dengan mencari keuntungan pribadi dan mengabaikan pendidikan pemirsanya, atau jangan juga semuanya hanya sibuk menyalahkan pemerintah dan tidak melakukan perubahan sendiri. Semua pihak harus saling bekerja sama memperbaiki dunia pertelevisian kita demi membangun generasi muda yang beriman, berakhlak mulia, cerdas, dan terampil di masa depan (Achmad Zamroni| Mahasiswa UMY).
Back To Top