Penulis: Joseph Nazareno - Anies Baswedan akan yang akan meyediakan dana untuk penulis untuk menjamin kreativitas dalam berkarya. Saya sebetulnya sangat mendukung keinginan dari Anies Baswedan yang rekor menulisnya tidak dapat dibantah lagi. Dengan menimbang kejadian bersejarah Frankfurt Book Fair, dimana hak cipta buku dari penulis Indonesia menjadi laris manis. Dari 200 buku asal Indonesia yang dibeli hak ciptanya untuk diterjemahkan ke bahasa lain, menjadi melonjak 2,5 kali lipatnya ditahun 2015.
Terlepas dari suntikan janji pak Anies Baswedan yang memanaskan gairah menulis. Walaupun belum jelas bagimana kejelasan baik proses pendanaan, karya apa yang lebih dulu, termasuk kualitas apa yang akan dipakai. Lebih dari soal dana agaknya masih banyak yang harus diselesaikan dalam ranah tulis menulis. Indonesia bukan juga bangsa yang malas menulis, mulai empu menulis kitab-kitab sampai kita mengenal Merry Riana kita punya penulis jempolan.
Masyarakat Indonesia merasa cukup bangga ketika seorang Eka Kurniawan menjadi bahan pembicaraan dunia internasional. Bangga kita jauh lebih bangga dibandingkan Garuda Indonesia hadir pada kaus Liverpool atau sandal Swallow melangit karena dipakai artis luar negeri. Terakhir karya sastra Indonesia yang dibicarakan adalah Pramoedya yang gagal masuk Nobel.
Lupakan bahasa-bahasa kapitalisme dan kompetitor yang membuat peluang penulis baru menipis. Sejatinya, masyarakat kita masih membeli buku bank soal ketimbang buku terbitan balai pustaka. Ketika dahulu kita pernah merasakan budaya wajib baca buku balai pustaka atau Bastian Tito eksis dengan Wiro Sablengnya. Saya rasa metode seperti ini tidak cocok lagi melihat Indonesia sekarang, musuh seorang penulis bukan lagi pembajak karya atau seorang plagiat. Seorang esai akan takut tidak dikenal atau dihargai ketimbang copy and paste.
Awal tahun 2015, ketika komik Nusatarangers dihabisi penulisnya dengan misi menaikan level karnya mereka lebih baik. Mereka sudah dikenal dibandingkan karya, dahulu sempat saya mengwawancarai IS Yuniarto tentang komiknya. Menurutnya dunia komik makin berkembang, teknologi ikut berkembang, seharusnya komikus toh mampu mengatasi persoalanya. Tidak penting karya terbit baik cetak dan online, perkembangan menulis menjadi maju.
Sikap dan Gaya Menulis |
Masyarakat Indonesia merasa cukup bangga ketika seorang Eka Kurniawan menjadi bahan pembicaraan dunia internasional. Bangga kita jauh lebih bangga dibandingkan Garuda Indonesia hadir pada kaus Liverpool atau sandal Swallow melangit karena dipakai artis luar negeri. Terakhir karya sastra Indonesia yang dibicarakan adalah Pramoedya yang gagal masuk Nobel.
Waktu memisahkan masalah
Masalahnya saya sangat bicara, penulis tidak bisa lepas dengan apa yang dimakan artinya penulis sangat dekat dengan sumber inpirasinya. Mulai dari Pramoedya Anata Toer, Mochtar Lubis, Bastian Tito, Goenawan Mohamad, dan sejumlah nama lain memiliki gaya menulis sendiri dan pembaca sendiri. Satu-satunya yang saja ingin kritisi dalam keinginan meningkatkan minat baca yang katanya menurun tajam adalah masih maksa. Padahal pertarungan buku sebenarnya jauh lebih bar-bar dari mimpi manis membangun Indonesia yang indeks membaca tinggi.Lupakan bahasa-bahasa kapitalisme dan kompetitor yang membuat peluang penulis baru menipis. Sejatinya, masyarakat kita masih membeli buku bank soal ketimbang buku terbitan balai pustaka. Ketika dahulu kita pernah merasakan budaya wajib baca buku balai pustaka atau Bastian Tito eksis dengan Wiro Sablengnya. Saya rasa metode seperti ini tidak cocok lagi melihat Indonesia sekarang, musuh seorang penulis bukan lagi pembajak karya atau seorang plagiat. Seorang esai akan takut tidak dikenal atau dihargai ketimbang copy and paste.
Awal tahun 2015, ketika komik Nusatarangers dihabisi penulisnya dengan misi menaikan level karnya mereka lebih baik. Mereka sudah dikenal dibandingkan karya, dahulu sempat saya mengwawancarai IS Yuniarto tentang komiknya. Menurutnya dunia komik makin berkembang, teknologi ikut berkembang, seharusnya komikus toh mampu mengatasi persoalanya. Tidak penting karya terbit baik cetak dan online, perkembangan menulis menjadi maju.
Perkembangan teknologi menjadi semakin maju, kesulitan dalam menulis menjadi semakin sedikit maka tersisa waktu dan orsinalitas.
Mempercayakan karya pada gaya penulis
Melihat minat menulis generasi muda, sebetulnya tidak menurun tajam masih banyak karya-karya yang bagus. Generasi ini memang lebih banyak menonton daripada baca, tapi itu bukan masalah urgent jika tujuan memancing minat baca dengan medongkrak kreativitas penulis. Menimbang apa yang dialami masyarakat dekat dengan digandrung media saat ini. Akhirnya kecedrungan masyarakat mudah ditembak. Artinya apa yang disukai masyarakat terkadang suka mencair dan mengikuti arus, baik arus itu umum dalam kelompok atau masyarakat umum.
Penulis dalam mencari pondasinya juga sama dengan masyarakat, penulis tidak bisa dipaksakan mampu berkarya langsung bagus. Perlu nutrisi dalam memaksa mereka menulis bagus, agaknya penulis di Indonesia memiliki gaya yang beragam. Walaupun tidak lepas dengan gaya penulis sebelumya. Seorang Pram, dia penulis dibalik meja mengumpulkan data meja. Mulai membaca dan memotong koran serta mendata informasi, bagi seorang pramis ini tidak salah. Karya macam “Sang Pemula” adalah contoh kecil dari gaya penulis yang tidak bisa diremehkan.
Seorang Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tipenya yang serba tau dan memiliki memori yang kuat. Mereka adalah jurnalis yang didalam perkembangan menulis, gaya penulis yang jelas menjadi ciri khasnya. Uniknya daya jelajah pun menjadikan mereka banyak pengaggum bukan karena idealism sebagai wartawan. Sebagai pengiat keilmuan Sejarah macam saya, karya mereka bisa dibilang pembahasan serius bisa dibawa dengan santai. Sedangkan ayah dari Vino G Bastian adalah playmaker, memiliki kemampuan pencarian sumber banyak sekali. Rela pergi jauh, demi menghadirkan kisah Wiro Sablengnya yang memanjakan pembaca.
Ketika penulis diatas mengunakan kemampuannya dalam meramu tulisan baik, kita adalah koki tulisan yang modern. Kita terbatas bagimana dan apa yang kita konsumsi, seorang pembaca Raditya Dika akan dengan dengan gaya kepenulisan sorang idola. Aku tidak mengatakan Raditya Dika memiliki tulisan yang buruk, namun kita memang harus meniru sebelum meunjukan gaya dan karya sendiri. Is Yuniarto sebelum membuat Garudayana dan Grand Legend sangat dekat Akira Toriyama.
Seorang penulis harusnya berani memulai, memulai menulis dengan kenapa menulis. Karena yang yang membangun metal penulis adalah pilihan dipilih dirinya sendiri.