MOS- OSPEK- Kekerasan- Perpeloncoan- Masa Orientasi Sekolah (MOS) erat dengan budaya senioritas yang menimbulkan kekerasan atau perpeloncoan dari senior ke juniornya. Mengapa terjadi seperti itu? Ini dia alasan mengapa MOS masih erat dengan perpeloncoan.
Foto MOS (Source: egyadhitama.blog.uns.ac.id) |
Susanto selaku Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berkata, rangkaian kegiatan bagi siswa baru seringkali masih menyisakan masalah. Pasalnya, tidak sedikit kegiatan MOS masih membudayakan kekerasan atau perpeloncoan.
Beliau memaparkan, masih ada sekolah dan sebagian siswa yang berpandangan bahwa pendekatan dengaan kekerasan dalam MOS masih diperlukan dengan berbagai alasan. "Salah satunya adalah beban sejarah, sehingga diperlukan saat masuk sekolah," kata Susanto melalui siaran pers di Jakarta.
Alasan lainnya adalah MOS menjadi momentum bagi kakak kelas untuk mengerjai siswa baru adik kelasnya. Selain itu, ada pula yang berpandangan bahwa pendekatan kekerasan diperlukan untuk membentuk mental siswa baru supaya menjadi kuat.
"Pandangan demikian tidak boleh terjadi. Kekerasan tidak sinkron dengan pendidikan maka tidak boleh ada muatan kekerasan dalam bentuk apa pun dalam Masa Orientasi Sekolah," ungkapnya.
Karena itu, KPAI meminta kepada seluruh sekolah yang ada di Indonesia supaya melaksanakan MOS tanpa ada muatan kekerasan didalamnya, baik verbal, psikis, seksual maupun fisik. Menurut Susanto (lagi), MOS harus dikembangkan dengan pendekatan dan metode yang membangkitkan karakter unggul siswa, bukan melemahkan potensi majemuk yang ada pada siswa.
"MOS juga harus dipastikan aman dan nyaman bagi semua siswa. Sekolah harus memastikan tidak ada kultur senioritas yang memicu kekerasan dalam pelaksanaan MOS," tuturnya.
Susanto mengungkapkan sekolah harus bisa memastikan kegiatan MOS tidak ada "dendam sejarah" antara kakak kelas dengan adik kelas. Menurut dia, tidak sedikit kakak kelas yang memperlakukan adik kelas sebagaimana mereka diperlakukan saat masuk sekolah dulu.
"Sekolah juga harus memastikan kegiatan MOS tidak dilakukan di lokasi yang membahayakan keselamatan siswa," ungkapnya.
Selain itu, kegiatan MOS juga harus dipastikan tidak membuat orang tua merasa resah dan was-was yang bisa memicu "salah paham" antara orangtua dan sekolah. Kegiatan MOS harus bisa menenangkan orangtua sehingga tidak terjadi kesalahpahaman keduanya.
Source: Okezone.com
Karena itu, KPAI meminta kepada seluruh sekolah yang ada di Indonesia supaya melaksanakan MOS tanpa ada muatan kekerasan didalamnya, baik verbal, psikis, seksual maupun fisik. Menurut Susanto (lagi), MOS harus dikembangkan dengan pendekatan dan metode yang membangkitkan karakter unggul siswa, bukan melemahkan potensi majemuk yang ada pada siswa.
"MOS juga harus dipastikan aman dan nyaman bagi semua siswa. Sekolah harus memastikan tidak ada kultur senioritas yang memicu kekerasan dalam pelaksanaan MOS," tuturnya.
Susanto mengungkapkan sekolah harus bisa memastikan kegiatan MOS tidak ada "dendam sejarah" antara kakak kelas dengan adik kelas. Menurut dia, tidak sedikit kakak kelas yang memperlakukan adik kelas sebagaimana mereka diperlakukan saat masuk sekolah dulu.
"Sekolah juga harus memastikan kegiatan MOS tidak dilakukan di lokasi yang membahayakan keselamatan siswa," ungkapnya.
Selain itu, kegiatan MOS juga harus dipastikan tidak membuat orang tua merasa resah dan was-was yang bisa memicu "salah paham" antara orangtua dan sekolah. Kegiatan MOS harus bisa menenangkan orangtua sehingga tidak terjadi kesalahpahaman keduanya.
Source: Okezone.com