UN Tahun 2015 Prospektif Dalam Mendesain Ulang Pola Pengembangan Pendidikan yang Bermartabat-Rosindus Yosef Maria Tae- Setelah sekian lama kelulusan siswa sekolah menengah ditentukan oleh Pemerintah Pusat, kini pemerintah mulai mengembalikan kelulusan siswa sepenuhnya menjadi wewenang sekolah (Dewan Guru). Bagi para kepala sekolah dan guru sebagai pelaksana dan penanggung jawab langsung pendidikan formal menengah, putusan ini merupakan satu langkah yang sangat menentukan derap pengembangan pendidikan di Tanah Air. Karena itu, bagi insan yang peduli pada pendidikan, kesempatan ini merupakan kesempatan yang berharga untuk melakukan pembaharuan dan mendasain ulang pola pendidikan yang lebih bermartabat bagi generasi muda bangsa ini.
Foto Infografis UN 2015 (Source: lpmpjogja.org) |
Kewenangan Kelulusan Siswa
Kewenangan meluluskan siswa ini telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik, Penyelenggaraan Ujian Nasional dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan pada SMP/MTs atau Yang Sederajat dan SMA/MA/SMK atau Sederajat. Pada Bab II tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Pencapaian Kompetensi Lulusan dalam Ujian Nasional, ditegaskan pada pasal 2 ayat 1, dan 2, dan pasal 5 point a, ditulis : Kelulusan peserta didik SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA/SMAK/SMTK, SMALB, SMK/MAK ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rapat dewan guru. Kelulusan seperti yang termaksud, diuraikan dalam Prosedur Operasional Standar (POS) Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/2015 dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 003/P/BSNP/III/2015, bagian VII tentang Kelulusan.Setelah kami menyimak Permen Dikbud dan POS Tahun Pelajaran 2014-2015 ini, sebagai guru dan kepala sekolah merasa gembira dan lega. Kegembiraan dan kelegaan ini memiliki alasan berikut ini. Pertama, para guru mulai kembali percaya diri bahwa mereka memiliki hak meluluskan dan tidak meluluskan siswa yang sudah sekian waktu diprosesnya. Kedua, seluruh komponen pendidikan mengembalikan kepercayaan siswa pada kemampuannya sendiri yang selama ini hilang akibat dari kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak saat UN (Ujian Nasional) berlangsung. Ketiga, sekretisitas (kerahasiaan) ujian akan terjamin kembali demi pembentukan karakter siswa secara berkesinambungan. Keempat, mengurangi tekanan psikis akibat dari penentuan kelulusan dari tingkat pusat dengan cara mengkondisikan pembelajaran dan bimbingan terhadap siswa untuk menerima kegagalan dengan berani. Kelima, menepis upaya pencitraan kepemimpinan politik melalui prestasi yang diraih siswa (lulus100%) di tingkat Daerah dan Nasional (”Pakta Integritas, Peluang Titik Balik Pendidikan”, Anita Lie, Opini Kompas Rabu, 9 April 2014, halaman 7).
Kewenangan untuk meluluskan siswa oleh dewan guru di sekolah ini sangat penting, karena di sana guru juga dapat memperbaiki citranya yang telah hancur selama penyelenggaraan UN-UN yang lalu. Hal ini dibenarkan oleh Anita Lie, Direktur Program Pascasarjana Unika Widya Mandala Surabaya. Dalam kaitan kejujuran UN, Anita menulis “Perusakan karakter guru dan siswa terjadi secara masif di seluruh Tanah Air melalui pelenyelenggaraan UN selama dekade terakhir ini” (Kompas, 9 April 2015. 7).
Pelaksanaan UN yang sarat kecurangan telah membawa akibat serius bagi guru dan siswa seperti kenyataan berikut ini. Bagi siswa, beberapa tahun terakhir ini kebanyakan siswa tidak lagi merasa gelisah kalau gagal dalam aneka ujian di sekolah. Kelas IX (SMP-sederajad) dan XII (SMA sederajad) tidak mau mempersiapkan diri dengan belajar keras untuk menguasai ilmu menjelang ujian. Umumnya mereka beranggapan bahwa pasti mereka akan diluluskan dalam UN dengan cara dicontekkan, mencontek, atau membeli kunci jawaban.
Selain tuntutan intelek bagi kelulusan siswa, ada banyak siswa yang tampak rendah tata krama dan perilakunya memprihatinkan, meskipun diberi pembimbingan berkali-kali tetapi tak pernah jera. Ada sebagian siswa yang melanggar aturan atau tidak disiplin, tetapi dia merasa tidak bersalah. Hal ini benar, karena sejak dini siswa-siswi ini telah dicekoki dengan pengalaman-pengalaman yang melawan moral, karena itu perbuatan melanggar aturan, norma dianggap tidak apa-apa oleh orang tua, sebagian guru, atau orang dewasa lainnya. Bila siswa yang tidak memiliki perubahan sikap secara signifikan maka ia seharusnya ulang kelas. Akan tetapi, kelulusan itu dilakukan pada tingkat nasional, maka guru tidak bisa meng-hendel siswa-siswi yang belum lulus perilakunya.
Kelulusan UN di tingkat nasional pun membuat guru rusak mentalnya. Bila kita melihat muatan Kurikulum dalam pendidikan kita setiap mata pelajaran sebenarnya sudah diprediksi secara terukur kegunaannya bagi siswa. Tetapi dalam praktik semuanya berubah. Mata pelajaran pembentukan akhlak, mata pelajaran pembentukan keterampilan dan pengembangan minat dan bakat dinormotduakan. Pembelajaran pembentuk intlektual diberi porsi waktu lebih besar.
Muatan pembelajaran diredusir ke dalam mata pelajaran UN dan Non UN. Pelajaran UN ditambah waktu pembelajarannya bahkan ditambah les tambahan pada sore hari, sedangkan pelajaran non-UN hanya menjadi pelengkap, ada atau tidak ada sama saja. Akibatnya, guru yang mengampu pembelajaran non UN memproses siswa tanpa idealisme dan antusiasme yang berarti. Mereka beranggapan bahwa pelajaran yang diajarkan tak bergengsi karena tidak di-UN-kan.
Lain lagi dengan sikap para guru pengampu pelajaran UN. Mereka juga tidak memiliki antusiasme yang tinggi untuk mempersiapkan siswa agar mereka menguasa pelajaran dengan baik. Para guru ini telah tersandera oleh anggapan bahwa ‘siswa akan diluluskan pada UN’ dengan ‘obat’ (jawaban) tertentu. Sering dalam pembelajaran para guru pengampu mata pelajaran UN ini tidak memfokuskan uraian materi pada konsep-konsep ilmu sebagai urat nadi pengetahuan, tetapi pembelajaran dibelokkan dengan membahas soal-soal UN. Karena itu, kepandaian atau kelulusan siswa itu umumnya bersifat ‘karbitan’, karena siswa hanya bisa menjawab soal-soal ujian tetapi tidak mampu menguasai materi pelajaran secara komprehensif.
Dengan diberlakukannya UN sebagai penentu kelulusan siswa dalam jangka waktu yang lama ini berakibat lanjut pada pembelajaran di sekolah dewasa ini. Pembelajaran di sekolah kini berubah menjadi bimbingan belajar atau bimbingan test. Karena sifat pembelajaran di sekolah tidak pada pengembangan pemahaman terhadap materi, tetapi mengarah pada latihan menjawab soal-soal test. Hal ini menyebabkan nilai-nilai pengetahuan yang bersifat aplikatif, analitis, sentetis, dan evaluatif menjadi terbengkelai. Siswa-siswi dengan hasil pendidikan seperti ini akan tampak dangkal, tanpa gairah, dan apa adanya.
Ketentuan Kelulusan Ujian Sekolah
Seorang siswa dinyatakan lulus bila ia memenuhi syarat yang ditentukan oleh BSNP berikut ini. Pertama, rata-rata nilai raport ( SMP/setingkat semester I-V dan SMA/setingkat II-V) dengan bobot 50% (lima puluh persen) sampai dengan 70% (tujuh puluh persen). Kedua, nilai ujian sekolah dengan bobot 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) (Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/2015). Dengan ketentuan kelulusan ini, jika seorang siswa memproses diri dan terproses belajarnya secara baik, dari segi penguasaan ilmu atau kemampuan intelektual pasti akan berhasil dalam ujian akhir sekolah.
Persyaratan kelulusan di atas dari sisi pendidikan sangat masuk akal. Karena di sana bobot kelulusan yang ditentukan dalam UN sebagai bentuk KKN dalam arti manipulasi nilai dapat teratasi secara baik. Karena menurut pakar Pendidikan Almahrum J. Dorst, SJ mengatakan “apa bila ada orang yang ingin membantu anak yang nilainya jelek supaya dapat naik kelas, orang itu baik hati, walau cara konversi itu jelek secara pedagogis. Akan tetapi, kalau sistem itu merugikan siswa yang memiliki nilai bagus, sistem itu benar-benar jahat, Saya ulang, jahat” (Dari KBK sampai MBS, tahun 2006, halaman 83).
Dari persyaratan di atas apa yang dicemaskan oleh J. Drost ditepis, karena di sana guru benar-benar akan mengkategorikan siswanya berdasarkan kemampuan yang dia miliki dalam proses pembelajarannya. Bagi kami lulusan tahun 2015 ini lebih menggambarkan kinerja guru dan siswa selama kurang lebih tiga tahun ini. Sering kami sangat prihatin ketika kelulusan ditentukan oleh pusat, karena kadang terjadi ekses bahwa anak yang memiliki kemampuan kurang, atau biasa-biasa lulus UN sedangkan siswa-siswi yang memiliki kemampuan lebih baik tidak lulus UN.
Dengan dikembalikan kelulusan ke sekolah, maka yang harus dibangun dalam sekolah adalah pemrosesan siswa secara objektif dan jujur. Di sini agen yang menentukan berkualitas tidaknya sekolah itu yakni guru. Karena itu, kelulusan dan ketidaklulusan siswa pada ujian sekolah akan menggambarkan kinerja guru. Bila siswa tidak lulus, maka kemampuan guru akan dipertanyakan kualitasnya. Dengan demikian, kini guru tidak bisa menganggap remeh tanggung jawab pembelajarannya lagi. Guru harus benar-benar menguasai tugasnya sebagai pendidik dan pengajar profesional.
UN Tahun 2015 Propektif
Sekolah dan dinas pendidikan pasti tidak menginginkan agar siswanya meraih kategori rendah. Dalam UN Tahun 2015 BSNP menentukan siswa yang berhasil dalam UN yakni mereka yang tingkat pencapaian kompetensi lulusan dengan kategori a) sangat baik, jika nilai lebih besar dari 85 (delapan puluh lima) dan kurang dari atau sama dengan 100 (seratus), b) baik, jika nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) dan kurang dari atau sama dengan 85 (delapan puluh lima), c) cukup, jika nilai dari 55 (lima puluh lima) dan kurang dari atau sama dengan 70 (tujuh puluh) d) kurang, jika nilai kurang dari atau sama dengan 55 (lima puluh lima). Bagi siswa kelas IX dan XII yang mendapat kategori kurang dipersilahkan untuk mengambil ujian perbaikan pada mata pelajaran yang belum memenuhi kategori di atas pada tahun berikutnya.
Bagi semua peserta UN tahun 2015 mereka akan mendapatkan SHUN (Sertifikat Hasil Ujian Nasional). Bagi mereka yang terkategori kurang diwajibkan untuk melakukan ujian perbaikan sekurang-kurangnya satu kali. Hasil dari kategori ini dapat dipakai oleh sekolah, pemerintah menilai kesiapan sekolah dalam arti proses pembelajaran, ketenagaan (tenaga pendidik dan kependidikan) dan fasilitas penunjang yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Maka sebagai pendidik kami bersyukur atas keputusan ini. Karena keputusan ini merupakan peluang sekaligus tantangan dalam membenahi pendidikan menengah bangsa ini.
Dengan putusan ini, maka pemangku pendidikan tidak lagi bekerja asal jadi atau ABS (asal bapak senang), tetapi koordinasi, evaluasi, harus dilakukan secara terpadu sehingga kita tidak terjebak lagi pada proses pendidikan asal-asal, tetapi penuh tanggung jawab. Guru-guru juga harus mulai menyadari diri sebagai ‘pelayan pendidikan’ bukan ‘pegawai yang menyelesaikan tugas tanpa hati’ tetapi benar-benar mengabdi demi kemajuan pendidikan.
Untuk pendidikan menengah guru belum tergantikan dengan apapun. Karena itu, guru harus dihargai profesinya itu. Dalam kaitan dengan guru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan bahwa “guru harus di-VIP-kan”, karena guru adalah agen yang tak tergantikan dalam pemberadaban bangsa. Kesempatan ini, kami mengajak para guru, kepala sekolah, pemerhati pendidikan mari ‘kita mulai sekali lagi’ memperbaiki mutu pendidikan kita agar lebih bermartabat dan terpuji demi kemuliaan manusiawi generasi muda kita.
Penulis:
P.Rosindus J.M Tae, Pr
Kepala SMA Santu Fransiskus Aek Tolang
Jl. Prof. Mohazirin-Tuka-Pandan-Tapanuli Tengah
Kepala SMA Santu Fransiskus Aek Tolang
Jl. Prof. Mohazirin-Tuka-Pandan-Tapanuli Tengah